FESTIVAL
DRAMATARI RAMAYANA
dari Estetika
Budaya Lokal Menunju Pasar Harapan
Rohmat Djoko
Prakosa
Pengantar
Ramayana merupakan gagasan besar tentang
nilai hidup manusia yang insani nan
humani tersebar sebagai khasanah filsafati diberbagai wilayah budaya india, China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Malaysia, Burma, Kamboja, Thailand, Laos, sunda,
Jawa, bali, dan Philipina. Persebaran dapat dimaknai
sebagai refleksi pemahaman ideology cultural yang senafas, beberapa penutur
menduga bahwa persebaran ini dirintis proses migrasi, perdagangan, dan
persebaran agama. di Indonesia Ramayana disajikan dalam berbagai media
ekspresi, antara lain sastra, rupa, pertunjukan wayang orang, pakeliran wayang
kulit.
Media, Nilai, dan Makna
Masyarakat
Indonesia mengenali Ramayana dalam berbagai bentuk media pertunjukan.
Pertunjukan memiliki peranan penting sebagai wahana tranformasi nilai dan makna
dalam memberikan gambaran reflektif proses kreatif yang melekat pada berbagai
ruang dan waktu. Ramayana dikenali sebagai karya sastra yang berakar tradisi
India meresap ke Indonesia mengalami proses alih media yang cukup panjang. Mahakarya
Ramayana merupakan karya sastra yang ditulis
Walmiki meresap dalam budaya Indonesia bersamaan dengan merseapnya
ajaran Hindu dan Budha. Dari media sastra Ramayana kemudian dipahatkan sebagai relief
bangunan-bangunan suci (candi prambanan, Borobudur, penataran, dll) menjadi
bagian dari pendarmaan, pengagungan, pentasbihan nilai-nilai ilahiah. Spirit ini
menuntun penghayatan masyarakat pada nilai yang dikandung dalam ceritera
Ramayana dimaknai sebagai refleksi nilai “nistha,
madya, utama” kehidupan manusia. Perupaan inderawi, alur ceritera,
antawacana, tembang dipahami sebagai symbol yang sarat dengan nilai dan makna.
Berbagai
karya sastra yang berakar dari lakon Ramayana merupakan tradisi yang membangun estetika
monumental dan memiliki spiritualitas
yang kokoh dalam mentranformasikan nilai dan makna kehidupan. Pada masa
kejayaan kerajaan Hindu Buda di Jawa, pada masa mataram hindu pada masa Dyah Balitung (820-832 saka/870 M) muncul
kakawin kakawin Ramayana[1], Arjunawijaya (Mpu Tantular) yang pada periode berikutnya lahir berbagai karya
adaptasi dari naskah yang ada pada periode sebelumnya. Yasadipura menengarai perubahan dalam bentuk karya
sastra; adaptasi dari Kakawin_Ramayana yaitu serat
Arjuna Sasra bahu disadur
dari Kakawin_Arjuna_Wijaya[2]. Serat_Arjuna_Sasrabahu Karya sastra yang tumbuh dan berkembang
tersebut menjadi inspirasi kreatif disajikan melalui media pertunjukan yang
mengolah berbagai garap medium--rupa, music, tari, tembang—sebagai bentuk
ekspresi estetiknya.
Dari
beberapa karya sastra tulis juga dialihmediakan menjadi sajian musical. Syair
dilantunkan dalam bentuk macapat, dilantunkan sebagai tembang luluh dengan
permainan gamelan. Pertunjukan wayang topeng, pakeliran wayang kulit,
pertunjukan wayang golek, wayang orang, Langen Mandrawanara dari Yogyakarta
merupakan refleksi kreatif para pelaku budaya diberbagai wilayah budaya etnik.
tuntutan kreatif tersebut akhirnya juga mendorong berbagai lakon “carangan”[3].
Alih media tersebut memberikan pengayaan nilai yang berdampak pada tumbuhnya
nilai komersial, serta profesionalisme yang terkait dengan ekspresi estetik
pertunjukan. Lakon Rama Tambak, Sumantri
Ngenger, sugriwa subali, sinta ilang, anoman obong, dll yang
dipetik dan kemudian dikembangkan menghidupi ribuan dalang, pengrawit, sindhen
diberbagai wilayah budaya (Sunda, Jawa, Bali, Madura dll)
Dramatari
merupakan media ekspresi yang meramu tatanan koreo untuk menyajikan lakon-lakon
yang berakar pada berbagai karya sastra Ramayana yang digelar dalam wacana festival
mendapat dukungan eko kultural tidak hanya dari dua pusat kebudayaan di Jawa
tetapi wilayah budaya bali, Sunda bahkan kemudian semakin menglobal, yang
segera disusul dengan munculnya dramatari Ramayana yang terinspirasi dari
kelekatan ceritera Ramayana yang
terjabar pada relief candi prambanan. festival
Ramayana internasional yang diselenggarakan di prambanan, pandaan Jawa Timur,
bali, maupun dibeberapa negara tetangga merupakan pola pemertahanan bentuk dan
nilai yang terkandung dalam ceritera Ramayana.
Kandungan nilai tersebut menjadi ikatan emosi kejiwaan
yang selalu lekat dengan penghayatan masyarakat dalam berkehidupan
bermasyarakat. ini memposisikan berbagai media yang megekspresikan Ramayana
selalu menjadi pusat perhatian. Religiusitas yang melekat pada berbagai bentuk
media ekspresi menjadi wahana komunikasi dan tranformasi nilai. Kandungan nilai
kemanusian yang insani dan humani dalam Ramayana bersifat universal tumbuh berkembang tercitrakan dalam berbagai
model kebudayaan yang membumi.
Dalam kehidupan masyarakat bali dimaaknai, pada tiap-tiap bagian ceritera Ramayana
memiliki nilai religious. Sad Ripu, yang berakar dari pemikiran filosofis bahwa
musuh pada dasarnya ada dalam diri manusia[4]. Dalam tradisi Jawa Ramayana memberi inspirasi
penafsiran mendalam tentang nilai kepemimpinan hastabrata, patriotism yang tercermin dalam serat Tripama. Estetika yang
dilandasi konsep alus angrawit, menuntun para pelaku seni mengekspresikan nilai
kehidupan yang dihayatinya ke dalam tatanan estetika panggung yang empan, mapan, mungguh. Membangun
simbol simbol melalui lakon, perupaan indrawi, sastra, gendhing sebagai sesuatu
yang bermakna bagi masyarakat luas.
Kosmologi wayang menyajikan entitas ekokultural yang
menuntun kita memahami hubungan manusia, alam, dan Tuhan sebagai kehidupan yang
utuh dalam satu siklus. Tuhan yang pencipta adalah dalang yang suci dan agung,
secara kodrati manusia merupakan anak wayang yang telah memiliki laku sesuai
dengan guratan lakon yang digariskan sang dalang ditengah alam raya. Pemahaman
ini menuntun masyarakat kita selalu mengidentikkan dirinya dengan tokoh-tokoh
wayang diidealkan, menyusun analog kisah pewayangan kedalam perjalanan
hidupnya.
Dalam konvensi pertunjukan wayang kita selalu diingatkan
pada kaidah bahwa tontonan merupakan tatatan nilai yang diharapkan menjadi
tuntunan dalam meniti pengembaraan hidup.
konsep ini menuntun
pada hampir semua seni klasik kita selalu ditata dengan estetika adi luhung
bukan saja menyajikan kenikmatan indrawi, kepuasan emosi/rasa, tetapi juga
samudra perenungan yang menuntun menuju pencerahan hidup.
Festival
Sendratari Ramayana dari Estetika Menuju Peristiwa Social
Tumbuh
dan berkembangnya dalam berbagai bentuk media pertunjukan didukung oleh
kekuatan politik, kekuatan komunal yang didasarkan kelompok religi dan budaya
adat, dan kekuatan pasar. Dalam tradisi-tradisi besar kerajaan Hindu Budha di
Nusantara Ramayana melekat dalam upacara ritual keagamaan dan upacara kebesaran
raja. Dalam prasasti Yupa disebutkan bahwa ‘macarita Ramayana’ melekat pada pelaksanaan upacara ‘buhusuvarnaka’ Mulawarman raja Kutei abad V M; dalam Prasati Wukajana abad IX M juga menyebut ‘macarita
Ramayana’ ; “……..hinyunakan tontonan
mamidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigal kicaka si jaluk
macarita ramayana mamirus mabanol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang……”
(Van Naerssen, 1937 : 444 – 446 dalam Haryono,2004 ).
Pada masa kejayaan mataram Islam
di Yogyakarta maupun Surakarta terlebih di Yogyakarta sendaratari Ramayana
merupakan salah satu tradisi besar yang melahirkan berbagai kreasi
pertunjukan terkait dengan kebesaran
raja. paparan kilas ini menunjukan peran penting dukungan politik dan
dukungan komunal masyarakat keagamaan
dan budaya adati dalam konservasi dan promosi terhadap eksistensi sendratari
Ramayana. fenomoena tersebut juga berkembang pada budaya adati bali yang juga
mendapat dukungan sepenuhnya dari kuasa raja dan kekuatan komunal masyarakat
keagamaan dan budaya adati.
Spiritualitas yang tumbuh dan berkembang itu menjadi benih
bagi lahirnnya festival dramatari Ramayana diberbagai wilayah budaya di
Indonesia—Prambanan, Pandaan, bali, mungkin akan segera menyusul di wilayah
budaya lainnya yang memiliki akar budaya adati selingkung—yang pada akhirnya
menjadi bagian yang utuh di kawasan budaya asia tenggara. terbangun jaringan
festival Ramayana yang menunjukkan benang merah sejarah kebudayaan, social
politik yang kokoh.
Sebagai suatu produk dari tradisi besar sendratari Ramayana memiliki standar bentuk dan nilai
yang dukung oleh konsep etika, estetika dan religiusitas yang mapan. Konsep
estetika “Adi luhung” menjadi tawaran
dan peluang bagi tumbuh berkembangnya keberangaman estetika yang lahir dari
keberagaman budaya di Indonesia. Sebagai sajian seni dramatari Ramayana
merupakan peristiwa estetika yang luar biasa, Pergelaran sendratari Ramayana baik
festival apresiastif maupun kompetitif
menjadi pusat integrasi social dan budaya yang berakar pada berbagai
negeri. Sebagai pusat integrasi festival Ramayana dapat menjadi media perjumpaan-perjumpaan berbagai peran
social dengan keragaman kepetingan sosialnya.
Ketika menjadi pusat integrasi maka peluang terjadinya
pertukaran informasi, barang, jasa, dan
uang semakin besar, artinya festival tidak lagi hanya menjadi peristiwa
estetika semata tetapi menjadi wahana tumbuhnya lembaga komersial yaitu pasar. peristiwa
pertunjukan sebagai zona inti merupakan peristiwa estetika yang dilingkupi
dengan zona dukung yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pertukaran informasi,
barang, uang dan jasa. Apabila hal ini
terjadi pada berbagai wilayah maka memberikan stimulan yang baik bagi tumbuhnya
pertumbuhan ekonomi kreatif lingkungan.
Peristiwa festival Ramayana
prambanan, Pandaan, Bali, juga pada wilayah budaya yang lain merupakan rentetan
peristiwa yang terintegrasi sebagai
ekosistem yang meski didukung oleh kesiapan lingkungan agar dapat mewujudkan
harmoni antara kepentingan pengukuhan ideology kultural dan pengembangan
ekonomi lingkungan. Untuk itu pasar
sebagai lembaga yang terkait dengan wilayah pengembangan nilai ekonomi
memerlukan dukungan ekosistem yang menjunjung tinggi dua kepentingan tersebut.
Keterlibatan dan partisipasi lingkungan menjadi sangat
penting dalam mengembangkan ekonomi, sebagaimana diungkap, bahwa persoalan mengenai hubungan antara kehidupan
ekonomi masyarakat, perkembangan psikologis masyarakat
serta perubahan di dalam area-area
kebudayaan tertentu mencakup warisan intelektual yang berupa ilmu pengetahuan, seni, dan agama, tetapi juga
mencakup hukum adat kebiasaan, fashion opini publik, olah raga, hiburan, gaya
hidup, dan sebagainya (Peter Beilharz 2002: 143).
Untuk membangun perubahan kebudayaan yang terintegrasikan
dengan pengembanagn ekonomi berpulang kembali pada peran yang sangat penting
antara negara dengan jajaran birokrasi--sebagai kekuatan politik--bersinergi
dengan kekuatan komunal keagamaan dan budaya adati, untuk menciptakan pasar
yang ideal untuk mengemban misi mensejahterakan masyarakat. Diperlukan dialog
terus menerus dengan kesadaran mendalam agar kebudayaan dan lingkungannya tetap
menjadi aset hidup masyarakat penuturnya. Semoga!
Daftar
Pustaka
Abbas, H.M.S..2001. Peninggalan
Sejarah dan Kepurbakalaan. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Timur.
Abdullah Ciptoprawiro. 1986. Filsfat Jawa.Jakarta: Balai
Pustaka
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2000. Ketika
Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press
Berg, C.C.1953. Herkomst, Vorm en Functie der MiddelJawaanshce
Rijksdelingstheorie. Amsterdam
Bernet kempers, A.J.
1954. Tjandi Kalasan dan Sari. Disalain oleh R. Soekmono. Jakarta: Dinas
Purbakala Republik Indonesia Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
Sedyawati,
Edi. 1982. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Penerbit Sinar
Harapan.
------------.
1985. Pengarcaan Ganeca Masa Kediri dan Sinhasari: Sebuah
Tinjauan Sejarah Kesenian : Jakarta (Disertasi Universitas Indonesia).
Hadimuljo,
Edi S. 1969. Wayang dalam kesenian Djawa Kuno. Budaya Djaja 17: 625
- 639.
Holt,
Claire. 1978. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York:
Cornell University
Press.
Iqbal
Khan, asif. 2002. Agama, Filsafat, seni,
dalam pemikiran Iqbal. Yogyakarta: Fafar Pustaka
Baru.
Jarianto. 2004.”Globalisasi: Posisi Budaya Lokal dalam
Konteks Kebudayaan dan Pariwisata” makalah dialog budaya pada Universitas
Muhamadiyah Malang. Oktober 2004.
--------------- 2006. Kebijakan Budaya pada Masa orde baru dan pasca orde baru.
Jember: KompyawisdaJatim.
Jazuli. 2000. Paradigma
Seni pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta:
Lantera
Magnis Suseno. 1992.
Filsafat kebudayaan politik : Butir-butir Pemikiran kritis. Jakarta
: Gramedia.
Mulyana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya.
Jakarta : Bhratara.
Paul Stange, 1998.
Politik Perhatian: Rasa dalam
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
LKIS
Peter Beilharz. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
Terhadap Para Filosof Terkemuka
yogyakarta: Pustaka Pelajar p. 143
Piliang, YA. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas
Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
------------------------. 1957. Kapustakaan Jawi. Jakarta: Djambatan
Sri Mulyono. 1983. Simbolisme
dan Mistikisme dalam Wayang . Jakarta: Gunung Agung
Stutterheim,
W.F. 1925. "Rama Legenden und
Rama Reliefs im Indonesien". Munchen : George
Muller Verlag.
Sutarto, A. 2004. Menguak
Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember:
Kompyawisda.
Timbul Haryono, 2004. “Seni
Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Tinjauan Perspektif
Historis –
Arkeologis “ makalah seminar budaya air Kediri 2004.
Biodata
Rohmat Djoko Prakosa lahir 16 Mei 1965. tamat SPG Negeri Rembang tahun 1985
menyelesaikan studi S1 di STSI Surakarta meraih magister Seni tahun 2006.
bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaaya sejak
tahun 1992. bergabung dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, aktif
menulis fiksi, article, dan repotase berbahasa Jawa, artikel seni budaya,
tari. buku yang terbit: Dongeng
Tengger, Abang Wora-Wari, Mengintip Tubuh Penari, dll.
[2]
Naskah digubah dalam bentuk syair macapat yang menggunakan bahasa Jawa
baru. Sehingga mudah diserap oleh berbagai
kalangan.
[3]
lakon yang dikreasi atas dasar
karya-karya besar yang sudah ada
sehingga muncul lakon baru seolah-olah bagian
dari karya
yang sudah ada.
[4]
Kakawin
Ramayana Sargah I : 4, Ràgàdi musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan
madoh ring awak. sad ripu
terdiri dari Kama, Lobha, Krodha, Mada, Moha, Matsarya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar