Senin, 02 Mei 2016

artikel ramayana



                                         FESTIVAL DRAMATARI  RAMAYANA
dari Estetika Budaya Lokal Menunju Pasar Harapan
Rohmat Djoko Prakosa


Pengantar
        Ramayana merupakan gagasan besar tentang nilai hidup manusia yang insani  nan humani tersebar sebagai khasanah filsafati diberbagai wilayah budaya india, China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Malaysia, Burma, Kamboja, Thailand, Laos, sunda, Jawa, bali, dan Philipina. Persebaran dapat dimaknai sebagai refleksi pemahaman ideology cultural yang senafas, beberapa penutur menduga bahwa persebaran ini dirintis proses migrasi, perdagangan, dan persebaran agama. di Indonesia Ramayana disajikan dalam berbagai media ekspresi, antara lain sastra, rupa, pertunjukan wayang orang, pakeliran wayang kulit.
Ramayana dituturkan sebagai tradisi dalam berbagai sisi kehidupan budaya masyarakat sebagai wahana pencerahan hidup melalui wacana pertunjukan seni. Penuturan tersebut melekatkan berbagai versi ceritera Ramayana--atau mungkin juga ceritera wayang yang lain—dengan kehidupan batin masyarakat.  Dalam kehidupan masyarakat sebagaimana disebutkan oleh Paul stange bahwa Wayang yang  juga  ada di luar jawa, menjadi oreintasi psikologis yang bersifat filsafati dan menjadi bagian dari perluasan seni-seni tradisional seperti yang ada. Wayang merupakan titik pusat  di dalam jaringan kebudayaan (1998: 55).
Kelekatan ceritera wayang (ramayana maupun mahabarata) dengan berbagai sisi kehidupan wayang terefleksikan dalam berbagai ungkapan. beberapa tokoh dalam ceritera wayang dilekatkan dengan nama suatu daerah, diidentikkan dengan figur diri bahkan beberapa sisi kehidupan masyarakat  diidentikkan dengan lakon-lakon wayang tertentu. lain dari pada itu muncul berbagai kreasi yang bersumber pada lakon-lakon ramayana; beberapa lakon wayang panji menampilkan tokoh anoman, kethek ogleng, panakawan yang selalu menyertai tokoh yang diidealkan dalam dunia batin masyarakat.
selalu ada manifestasi alus kasar sebagai ungkapan estetika yang terkait dengan tatanan  etika—baik buruk, kemuliaan dan kenistaan—yang selalu dikaitkan dengan ksatriya dan raksasa atau yang lainnya. hal itu menjadi inspirasi kreasi tiada henti  dalam penuturan budaya adati yang diwacanakan dalam media sastra, pertunjukan dramatari, pakeliran dll. kekayaan wacana kreatif memberikan peluang yang besar bagi pengembangan nilai ideologi kultural serta nilai ekonomi yang biasanya menyertai setiap langkah kreatifnya.

Media, Nilai,  dan Makna
Masyarakat Indonesia mengenali Ramayana dalam berbagai bentuk media pertunjukan. Pertunjukan memiliki peranan penting sebagai wahana tranformasi nilai dan makna dalam memberikan gambaran reflektif proses kreatif yang melekat pada berbagai ruang dan waktu. Ramayana dikenali sebagai karya sastra yang berakar tradisi India meresap ke Indonesia mengalami proses alih media yang cukup panjang. Mahakarya Ramayana merupakan karya sastra yang ditulis  Walmiki meresap dalam budaya Indonesia bersamaan dengan merseapnya ajaran Hindu dan Budha. Dari media sastra  Ramayana kemudian dipahatkan sebagai relief bangunan-bangunan suci (candi prambanan, Borobudur, penataran, dll) menjadi bagian dari pendarmaan, pengagungan, pentasbihan nilai-nilai ilahiah. Spirit ini menuntun penghayatan masyarakat pada nilai yang dikandung dalam ceritera Ramayana dimaknai sebagai refleksi nilai “nistha, madya, utama” kehidupan manusia. Perupaan inderawi, alur ceritera, antawacana, tembang dipahami sebagai symbol yang sarat dengan nilai dan makna.
Berbagai karya sastra yang berakar dari lakon Ramayana merupakan  tradisi yang membangun estetika monumental  dan memiliki spiritualitas yang kokoh dalam mentranformasikan nilai dan makna kehidupan. Pada masa kejayaan kerajaan Hindu Buda di Jawa, pada masa mataram hindu  pada masa Dyah Balitung (820-832 saka/870 M) muncul kakawin kakawin Ramayana[1],  Arjunawijaya (Mpu Tantular) yang  pada periode berikutnya lahir berbagai karya adaptasi dari naskah yang ada pada periode sebelumnya. Yasadipura menengarai perubahan dalam bentuk karya sastra; adaptasi dari Kakawin_Ramayana yaitu serat Arjuna Sasra bahu disadur dari Kakawin_Arjuna_Wijaya[2]. Serat_Arjuna_Sasrabahu  Karya sastra yang tumbuh dan berkembang tersebut menjadi inspirasi kreatif disajikan melalui media pertunjukan yang mengolah berbagai garap medium--rupa, music, tari, tembang—sebagai bentuk ekspresi estetiknya.
Dari beberapa karya sastra tulis juga dialihmediakan menjadi sajian musical. Syair dilantunkan dalam bentuk macapat, dilantunkan sebagai tembang luluh dengan permainan gamelan. Pertunjukan wayang topeng, pakeliran wayang kulit, pertunjukan wayang golek, wayang orang, Langen Mandrawanara dari Yogyakarta merupakan refleksi kreatif para pelaku budaya diberbagai wilayah budaya etnik. tuntutan kreatif tersebut akhirnya juga mendorong berbagai lakon “carangan”[3]. Alih media tersebut memberikan pengayaan nilai yang berdampak pada tumbuhnya nilai komersial, serta profesionalisme yang terkait dengan ekspresi estetik pertunjukan. Lakon Rama Tambak, Sumantri Ngenger, sugriwa subali, sinta ilang, anoman obong, dll yang dipetik dan kemudian dikembangkan menghidupi ribuan dalang, pengrawit, sindhen diberbagai wilayah budaya (Sunda, Jawa, Bali, Madura dll)
Dramatari merupakan media ekspresi yang meramu tatanan koreo untuk menyajikan lakon-lakon yang berakar pada berbagai karya sastra Ramayana yang digelar dalam wacana festival mendapat dukungan eko kultural tidak hanya dari dua pusat kebudayaan di Jawa tetapi wilayah budaya bali, Sunda bahkan kemudian semakin menglobal, yang segera disusul dengan munculnya dramatari Ramayana yang terinspirasi dari kelekatan ceritera Ramayana  yang terjabar pada relief candi prambanan.   festival Ramayana internasional yang diselenggarakan di prambanan, pandaan Jawa Timur, bali, maupun dibeberapa negara tetangga merupakan pola pemertahanan bentuk dan nilai yang terkandung dalam ceritera Ramayana.
            Kandungan nilai tersebut menjadi ikatan emosi kejiwaan yang selalu lekat dengan penghayatan masyarakat dalam berkehidupan bermasyarakat. ini memposisikan berbagai media yang megekspresikan Ramayana selalu menjadi pusat perhatian. Religiusitas yang melekat pada berbagai bentuk media ekspresi menjadi wahana komunikasi dan tranformasi nilai. Kandungan nilai kemanusian yang insani dan humani dalam Ramayana bersifat universal  tumbuh berkembang tercitrakan dalam berbagai model kebudayaan yang membumi.
          Dalam kehidupan masyarakat bali dimaaknai,  pada tiap-tiap bagian ceritera Ramayana memiliki nilai religious. Sad Ripu, yang berakar dari pemikiran filosofis bahwa musuh pada dasarnya ada dalam diri manusia[4].  Dalam tradisi Jawa Ramayana memberi inspirasi penafsiran mendalam tentang nilai kepemimpinan hastabrata, patriotism yang tercermin dalam serat Tripama.   Estetika yang dilandasi konsep alus angrawit, menuntun para pelaku seni mengekspresikan nilai kehidupan yang dihayatinya ke dalam tatanan estetika panggung yang empan, mapan, mungguh.  Membangun simbol simbol melalui lakon, perupaan indrawi, sastra, gendhing sebagai sesuatu yang bermakna bagi masyarakat luas.
          Kosmologi wayang menyajikan entitas ekokultural yang menuntun kita memahami hubungan manusia, alam, dan Tuhan sebagai kehidupan yang utuh dalam satu siklus. Tuhan yang pencipta adalah dalang yang suci dan agung, secara kodrati manusia merupakan anak wayang yang telah memiliki laku sesuai dengan guratan lakon yang digariskan sang dalang ditengah alam raya. Pemahaman ini menuntun masyarakat kita selalu mengidentikkan dirinya dengan tokoh-tokoh wayang diidealkan, menyusun analog kisah pewayangan kedalam perjalanan hidupnya.    
          Dalam konvensi pertunjukan wayang kita selalu diingatkan pada kaidah bahwa tontonan merupakan tatatan nilai yang diharapkan menjadi tuntunan dalam meniti pengembaraan hidup.
konsep ini menuntun pada hampir semua seni klasik kita selalu ditata dengan estetika adi luhung bukan saja menyajikan kenikmatan indrawi, kepuasan emosi/rasa, tetapi juga samudra perenungan yang menuntun menuju pencerahan hidup.

Festival Sendratari Ramayana dari Estetika Menuju Peristiwa Social
            Tumbuh dan berkembangnya dalam berbagai bentuk media pertunjukan didukung oleh kekuatan politik, kekuatan komunal yang didasarkan kelompok religi dan budaya adat, dan kekuatan pasar. Dalam tradisi-tradisi besar kerajaan Hindu Budha di Nusantara Ramayana melekat dalam upacara ritual keagamaan dan upacara kebesaran raja. Dalam prasasti Yupa disebutkan bahwa ‘macarita Ramayana’ melekat pada pelaksanaan upacara ‘buhusuvarnaka’ Mulawarman raja Kutei abad V M; dalam  Prasati Wukajana abad IX M juga menyebut ‘macarita Ramayana’ ; “……..hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigal kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabanol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang……” (Van Naerssen, 1937 : 444 – 446 dalam Haryono,2004 ).
             Pada masa kejayaan mataram Islam di Yogyakarta maupun Surakarta terlebih di Yogyakarta sendaratari Ramayana merupakan salah satu tradisi besar yang melahirkan berbagai kreasi pertunjukan  terkait dengan kebesaran raja. paparan kilas ini menunjukan peran penting dukungan politik dan dukungan  komunal masyarakat keagamaan dan budaya adati dalam konservasi dan promosi terhadap eksistensi sendratari Ramayana. fenomoena tersebut juga berkembang pada budaya adati bali yang juga mendapat dukungan sepenuhnya dari kuasa raja dan kekuatan komunal masyarakat keagamaan dan budaya adati.
Spiritualitas yang tumbuh dan berkembang itu menjadi benih bagi lahirnnya festival dramatari Ramayana diberbagai wilayah budaya di Indonesia—Prambanan, Pandaan, bali, mungkin akan segera menyusul di wilayah budaya lainnya yang memiliki akar budaya adati selingkung—yang pada akhirnya menjadi bagian yang utuh di kawasan budaya asia tenggara. terbangun jaringan festival Ramayana yang menunjukkan benang merah sejarah kebudayaan, social politik yang kokoh.
Sebagai suatu produk dari tradisi besar sendratari  Ramayana memiliki standar bentuk dan nilai yang dukung oleh konsep etika, estetika dan religiusitas yang mapan. Konsep estetika “Adi luhung”  menjadi tawaran dan peluang bagi tumbuh berkembangnya keberangaman estetika yang lahir dari keberagaman budaya di Indonesia. Sebagai sajian seni dramatari Ramayana merupakan peristiwa estetika yang luar biasa, Pergelaran sendratari Ramayana baik festival apresiastif maupun kompetitif  menjadi pusat integrasi social dan budaya yang berakar pada berbagai negeri. Sebagai pusat integrasi festival Ramayana dapat menjadi  media perjumpaan-perjumpaan berbagai peran social dengan keragaman kepetingan sosialnya. 
Ketika menjadi pusat integrasi maka peluang terjadinya pertukaran informasi, barang, jasa, dan  uang semakin besar, artinya festival tidak lagi hanya menjadi peristiwa estetika semata tetapi menjadi wahana tumbuhnya lembaga komersial yaitu pasar. peristiwa pertunjukan sebagai zona inti merupakan peristiwa estetika yang dilingkupi dengan zona dukung yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pertukaran informasi, barang, uang  dan jasa. Apabila hal ini terjadi pada berbagai wilayah maka memberikan stimulan yang baik bagi tumbuhnya pertumbuhan ekonomi kreatif lingkungan.
Peristiwa festival  Ramayana prambanan, Pandaan, Bali, juga pada wilayah budaya yang lain merupakan rentetan peristiwa  yang terintegrasi sebagai ekosistem yang meski didukung oleh kesiapan lingkungan agar dapat mewujudkan harmoni antara kepentingan pengukuhan ideology kultural dan pengembangan ekonomi  lingkungan. Untuk itu pasar sebagai lembaga yang terkait dengan wilayah pengembangan nilai ekonomi memerlukan dukungan ekosistem yang menjunjung tinggi dua kepentingan tersebut.
Keterlibatan dan partisipasi lingkungan menjadi sangat penting dalam mengembangkan ekonomi, sebagaimana diungkap, bahwa persoalan mengenai hubungan antara kehidupan ekonomi masyarakat,  perkembangan psikologis  masyarakat serta perubahan di dalam area-area kebudayaan tertentu mencakup warisan intelektual yang berupa ilmu  pengetahuan, seni, dan agama, tetapi juga mencakup hukum adat kebiasaan, fashion opini publik, olah raga, hiburan, gaya hidup, dan sebagainya (Peter Beilharz 2002: 143).
Untuk membangun perubahan kebudayaan yang terintegrasikan dengan pengembanagn ekonomi berpulang kembali pada peran yang sangat penting antara negara dengan jajaran birokrasi--sebagai kekuatan politik--bersinergi dengan kekuatan komunal keagamaan dan budaya adati, untuk menciptakan pasar yang ideal untuk mengemban misi mensejahterakan masyarakat. Diperlukan dialog terus menerus dengan kesadaran mendalam agar kebudayaan dan lingkungannya tetap menjadi aset hidup masyarakat penuturnya. Semoga!


Daftar Pustaka

Abbas, H.M.S..2001. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
Abdullah Ciptoprawiro.  1986. Filsfat Jawa.Jakarta: Balai Pustaka
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press
Berg, C.C.1953. Herkomst, Vorm en Functie der MiddelJawaanshce Rijksdelingstheorie. Amsterdam
Bernet kempers, A.J. 1954. Tjandi Kalasan dan Sari. Disalain oleh R. Soekmono. Jakarta: Dinas Purbakala Republik Indonesia Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.                    
Sedyawati, Edi. 1982. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.
------------. 1985. Pengarcaan Ganeca Masa Kediri dan Sinhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian : Jakarta (Disertasi Universitas Indonesia).
Hadimuljo, Edi S. 1969. Wayang dalam kesenian Djawa Kuno. Budaya Djaja 17: 625 - 639.
Holt, Claire. 1978. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University
               Press.
Iqbal Khan, asif. 2002. Agama, Filsafat, seni, dalam pemikiran Iqbal. Yogyakarta: Fafar Pustaka
           Baru.
Jarianto. 2004.”Globalisasi: Posisi Budaya Lokal dalam Konteks Kebudayaan dan Pariwisata” makalah dialog budaya pada Universitas Muhamadiyah Malang. Oktober 2004.
 ---------------  2006.     Kebijakan Budaya pada Masa orde baru dan pasca orde baru.
                        Jember: KompyawisdaJatim.
Jazuli. 2000.    Paradigma Seni pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta: Lantera
Magnis Suseno.    1992.  Filsafat kebudayaan politik : Butir-butir Pemikiran kritis. Jakarta : Gramedia.
Mulyana, Slamet.  1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta : Bhratara.
Paul Stange, 1998.  Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS
Peter Beilharz. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis  Terhadap Para Filosof Terkemuka
      yogyakarta: Pustaka Pelajar p. 143
Piliang, YA. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Poerbatjaraka, RM. 1931 Smaradahana, Bibliotheca Javanica Jilid III. Bandoeng: Nix
------------------------. 1957. Kapustakaan Jawi.  Jakarta: Djambatan
Sri Mulyono. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang . Jakarta: Gunung Agung
Stutterheim, W.F. 1925. "Rama Legenden und Rama Reliefs im Indonesien". Munchen : George
              Muller Verlag.
Sutarto, A. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember:
           Kompyawisda.
Timbul Haryono, 2004. “Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Tinjauan Perspektif
Historis – Arkeologismakalah seminar budaya air Kediri 2004.



Biodata
Rohmat Djoko Prakosa lahir 16 Mei 1965. tamat SPG Negeri Rembang tahun 1985 menyelesaikan studi S1 di STSI Surakarta meraih magister Seni tahun 2006. bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaaya sejak tahun 1992. bergabung dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, aktif menulis fiksi, article, dan repotase berbahasa Jawa, artikel seni budaya, tari.  buku yang terbit: Dongeng Tengger, Abang Wora-Wari, Mengintip Tubuh Penari, dll.   


[1] diprasangkai adaptasi dari  Rawanawadha karya Bhattikawya dari India.
[2] Naskah digubah dalam bentuk syair macapat yang menggunakan bahasa Jawa baru. Sehingga mudah diserap  oleh   berbagai kalangan.   
[3] lakon yang dikreasi atas dasar  karya-karya besar  yang sudah ada sehingga muncul lakon baru seolah-olah bagian  
  dari karya yang sudah ada. 
[4] Kakawin Ramayana Sargah I : 4, Ràgàdi musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak. sad ripu  
   terdiri dari Kama, Lobha, Krodha, Mada, Moha, Matsarya..